Rabu, 16 Desember 2015

Pengantar Telematika Kasus Cybercrime

1.             Harbolnas Banyak Diskon Palsu, Bos Lazada Minta Maaf
Reska K. Nistanto - Kompas Tekno
Jumat, 11 Desember 2015 | 20:48 WIB


 Sebuah popok disebut memiliki harga asli Rp 130 juta lebih, lalu mendapat diskon "Harbolnas" hampir 100 persen
JAKARTA, KOMPAS.com — CEO Lazada Indonesia Magnus Ekbom meminta maaf atas perilaku seller di Lazada yang memberi diskon, tetapi sebelumnya menaikkan harga berkali lipat.
"Kami mengetahui bahwa ada beberapa produk yang tertulis salah untuk harga sebelumnya," ujar Magnus lewat pesan instan yang diterima KompasTekno pada Jumat (11/12/2015) sore.
Menurut Magnus, hal tersebut biasanya diketahui oleh tim Quality Control Lazada Indonesia. Namun, karena banyaknya produk yang dihadirkan selama Hari Belanja Online Nasional, beberapa informasi terlewatkan.
"Kami memohon maaf untuk hal ini dan kami akan terus memastikan untuk meningkatkan proses kontrol kualitas," tulis Magnus.
Sementara itu, Public Relation Manager Lazada Indonesia Tania Amalia saat dihubungi KompasTekno mengatakan bahwa para seller nakal tersebut telah diblokir dan dihentikan kerja samanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam pergelaran Hari Belanja Online Nasional 2015, sejumlah barang yang dijual di situs belanja Lazada Indonesia dan MatahariMall.com, walau didiskon besar-besaran hingga 99 persen, tetapi harga awal yang ditulis telah dinaikkan berkali lipat hingga tidak masuk akal.
Dengan demikian, harga setelah diskon sama saja dengan harga normal, atau kadang justru lebih mahal.
Hal itu misalnya, ponsel Android LG Leon RAM 1 GB yang dijual dengan harga Rp 20-an juta. Ada pula popok bayi yang dijual dengan harga awal Rp 130.000-an.


2. Revisi "Pasal Karet" UU ITE Sebenarnya Nyangkut di Mana?

Yoga Hastyadi Widiartanto - Kompas Tekno
Rabu, 2 Desember 2015 | 14:54 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Sudah hampir setahun berselang sejak Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memastikan proses revisi Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak dihentikan. Namun hingga kini belum terdengar kabar selesai.
Pria yang akrab disapa Chief RA itu, saat ditemui KompasTekno di sela acara Pesta Wirusaha di Gedung SMESCO, Rabu (2/12/2015), mengatakan sudah selesai membahas rancangan revisi tersebut.

Bahkan, rapat kabinet dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyetujui dan Menkominfo pun sudah menandatangani administrasi yang dibutuhkan, kemudian mengirim naskah ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Saya sudah tanda tangan. Rapat antar-menteri sudah, rapat koordinasi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan sudah, rapat terbatas kabinet dengan Presiden, khusus soal UU ITE sudah disepakati," terangnya.  
"Setelah rapat terbatas kabinet, sekitar Oktober lalu, saya sudah tanda tangan naskah. Pokoknya saya kejar terus, ke Komisi 1 (DPR-red) juga update soal ini. Kalau lambat-lambat nanti saya bawa ke Badan Legislatif (Baleg) lah," imbuhnya.
Salah satu bagian yang diubah ada dalam revisi pasal 27 Ayat 3. Pasal ini banyak disebut sebagai pasal karet. Hukuman yang sebelumnya enam tahun, dikurangi menjadi empat tahun agar tidak disalahgunakan.
Sekadar diketahui, bila ancaman hukuman lebih dari lima tahun, maka orang yang dituduh bersalah bisa dipenjara lebih dulu sebelum diminta keterangan.
Naskah "Hilang"
Sebelumnya, sempat heboh kabar yang menyebutkan naskah revisi UU ITE tersebut hilang. Maksud hilang di sini bukan raib secara fisik, melainkan kehilangan momentum pembahasan.
Masalahnya revisi yang sudah masuk program legislatif nasional DPR 2015 itu tak kunjung diketahui hasilnya. Sementara itu masa sidang anggota DPR tahun ini akan habis dalam dua pekan.
"Dengan sisa waktu 17 hari, pembahasan macam apa yagn diharapkan? Langsung ketok palu di DPR?," tanya pegiat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto dalam pesan singkat kepada KompasTekno.
Menurutnya, jika revisi tersebut nanti diputuskan pun masih ada hal yang mengganjal. Perubahannya tidak memuaskan karena hanya dianggap hanya memberi diskon hukuman, tanpa menyentuh esensi masalah di pasal karet itu.
"Itu kalau mau diselesaikan tahun ini. Tapi kalau mau dilanjutkan ke 2016 kok belum ada daftarnya di Prolegnas 2016 dan itu pun tanpa kepastian kapan selesainya," imbuh Damar.
"Makin berlarut-larut, maka makin banyak netizen yang terjerat pasal karet UU ITE," tutupnya.



  
3.              Waspada Bahaya Bermain Kuis Vonvon di Facebook
Yoga Hastyadi Widiartanto - Kompas Tekno
Senin, 30 November 2015 | 12:09 WIB




Tampilan permainan "Most Used Words" buatan Vonvon
KOMPAS.com - Masih ingat kuis buatan Vonvon, misalnya "Berapa Lama Anda Akan 
Menjomblo?" atau "Ketika Tuhan Menciptakan Saya"?

Kuis-kuis tersebut begitu viral di 
Facebook dan dimainkan oleh banyak orang. Namun ternyata di baliknya, ada satu kuis yang dikhawatirkan melanggar berbagai privasi pengguna dan berpotensi bahaya.

Kuis yang dimaksud berjudul "What Are Your Most Used Words on
Facebook?"atau berarti "Kata-kata Apa yang Paling Banyak Anda Pakai di Facebook?"

Sebagaimana dilansir KompasTekno dari Time, Senin (30/11/2015), data yang diminta kuis tersebut dinilai melanggar privasi pengguna, karena melebihi hal dasar yang dibutuhkan kuis.

Secara spesifik, ketika ingin memainkan kuis tersebut, Vonvon meminta data berupa info publik, seluruh daftar teman, seluruh isi timeline, foto yang diunggah dan di-tag oleh teman, riwayat pendidikan, kota kelahiran dan kota tempat tinggal, konten yang di Like hingga alamat IP.

Vonvon President David Hahn pun angkat bicara mengenai hal ini. "Most Used Words" meminta semua data tersebut dengan tujuan memudahkan pengguna.

Asumsi mereka adalah ada banyak kuis yang dimainkan, dan pengguna akan berkunjung per hari. Maka semua data yang sudah diberikan di awal akan mempermudah karena Vonvon jadi tidak perlu meminta lagi setiap pengguna berkunjung.

Hahn juga menegaskan bahwa perusahaan mereka tidak mampu menyimpan data pengguna. Pasalnya ketika pengguna berinteraksi dengan konten Vonvon, informasi yang diberikan tetap ada di server
Facebook.

Staff Technologist Electronic Frontier Group, Jeremy Gillula mendukung klaim Hahn. Pria ini berpendapat Vonvon berhati-hati dalam memperlakukan data pengguna, tapi menyarankan agar pengguna juga tetap waspada dengan informasi yang diberikan.

Menurut pria ini, kebanyakan game buatan mereka menggunakan JavaScript, artinya data yang dibutuhkan diurai dalam komputer milik pengguna, tidak ditarik ke dalam cloud.

Sayangnya bukan berarti Vonvon benar-benar tak mengambil data pengguna. Menurut Gillula untuk memastikan hal tersebut butuh cara yang rumit.

"Tanpa melihat setiap baris kode di dalamnya, Anda tidak bisa 100 persen yakin. Tak ada cara mudah untuk membuat pengguna yakin," ujarnya.

Kini permainan "Most Used Words" buatan Vonvon telah diubah. Aplikasi tersebut tidak meminta data dengan detil, melainkan hanya informasi publik, daftar teman serta timeline pengguna.

Anda juga masih bisa memainkannya meski hanya memberi informasi publik, dan menolak akses menuju daftar teman serta timeline.

4.              Facebook Terancam Denda Rp 4 Miliar Per Hari
Fatimah Kartini Bohang - Kompas Tekno
Senin, 28 September 2015 | 15:13 WIB
KOMPAS.com — Komisi Privasi Belgia (BPC) menuding Facebookbertindak sama seperti badan keamanan AS, National Security Agency (NSA). Jejaring sosial tersebut dituduh sebagai mata-mata tanpa otoritas dan telah melanggar privasi pengguna Eropa.
Atas tuduhan tersebut, Facebook diminta ganti rugi 280.000 dollar AS atau sekitar Rp 4 miliar per hari. Tuntutan tersebut, kata perwakilan BPC, berakhir setelah Facebook berhenti menguntit para penggunanya di Eropa.
Pengacara yang membela BPC, Frederic Debussere, mengimbau hakim untuk tak terintimidasi oleh pembelaan yang akan diajukan Facebook.
"Jangan terintimidasi oleh Facebook. Mereka akan mengatakan bahwa tuntutan kami tak bisa diimplementasikan di Belgia," kata Debussere, sebagaimana dilaporkan TechTimes dan dikutip KompasTekno, Sabtu (26/9/2015).
Benar saja, pengacara Facebook, Paul Lefebre, mematahkan tuntutan BPC atas dasar lokasi. "Bagaimana bisa Facebook menjadi subyek hukum Belgia sementara manajemen pengumpulan data penggunaFacebook di Eropa dikumpulkan di Irlandia?" ia berkilah.
Diketahui, pusat Facebook Eropa terletak di Irlandia. Ada sekitar 900 orang yang bekerja di markas cabang Facebook tersebut. Maka dari itu,Facebook pun menjamin bahwa layanannya telah memenuhi syarat privasi yang ditetapkan Pemerintah Irlandia sebagai negara perwakilan Eropa.
Perdebatan antara BPC dan Facebook masih berlangsung sengit. BPC menggarisbawahi kemampuan Facebook mengumpulkan data dari jutaan orang di seluruh dunia bertujuan untuk meraup untung sebesar-besarnya.

Pemerintah Belgia pun menganggap kontrol monitor 
Facebook untuk menganalisis kebiasaan masyarakat online, bahkan yang bukan penggunanya, terindikasi sebagai kejahatan atas hak privasi.
Belgia tak sendiri melawan Facebook. Sebelumnya, media yang dibangun oleh Mark Zuckerberg tersebut juga pernah dituntut oleh Belanda atas isu yang sama.

5.              Hati-hati, Malware Menyerang Lewat WhatsApp Web

Deliusno - Kompas Tekno
Kamis, 10 September 2015 | 09:06 WIB


Kompascom - Ditemukan celah berbahaya di WhatsApp versi web atau desktop. Melalui celah tersebut, seorang penjahat cyber bisa menipu korbannya untuk menginstal program berbahaya atau biasa disebut malware.

Sebagaimana KompasTekno rangkum dari PC World, Rabu (9/9/2015), celah keamanan tersebut ditemukan oleh ahli keamanan bernama Kasif Dekel dari perusahaan bernama Check Point.

Menurut hasil penelitiannya, penjahat cyber bisa memanfaatkan kartu kontak digital (vCard) untuk menipu korbannya. Alih-alih berisi informasi kontak yang diinginkan, korban bisa saja menerima vCard yang berisikan kode berbahaya.

"Semua yang dibutuhkan si penyerang untuk memanfaatkan celah keamanan adalah dengan mengirimkan korban sebuah vCard yang tampak biasa saja, padahal berisi kode berbahaya," ujar Oded Vanunu, Group Manager for Security Research and Penetration dari Check Point.

Dekel menemukan, sangat mungkin untuk mengubah ekstensi .bat atau script lainnya ke ekstensi vCard. Sistem WhatsApp akan berpikir, pengguna hanya menerima vCard, padahal ia merupakan sekumpulan kode yang bisa berjalan layaknya aplikasi biasa.

"Itu artinya, saat korban mengklik file yang telah diunduh (yang bisa diasumsikan berupa kartu kontak), kode yang ada dalam file batch kemudian berjalan di komputer," tulis Dekel.

Celah keamanan ini dianggap berbahaya karena si penjahat cyber hanya butuh nomor telepon korban untuk mengirimkan vCard "siluman" itu. Untungnya, vCard berisi kode jahat itu tidak akan berjalan, apabila korban tidak mengunduh dan membukanya.

Check Point sendiri sudah melaporkan celah keamanan tersebut ke pihak WhatsApp pada 21 Agustus lalu. WhatsApp dikabarkan langsung menangani masalah tersebut dan menambal celahnya pada 27 Agustus lalu.